Kembali ke konten utama
Fesyen Berkelanjutan: Ramah Lingkungan Saat Mengejar Keindahan
2021-12-13

Fesyen Berkelanjutan

 

Industri fesyen kini diakui sebagai pencemar lingkungan nomor dua setelah industri petrokimia. Konsekuensi dari promosi konsumsi, manufaktur massal dan trend sekali pakai adalah kerusakan lingkungan yang sulit ditangani untuk kurun waktu yang panjang.

Kenyataan tak terelakkan ini telah mendorong gerakan “fesyen berkelanjutan” yang memberitahu bagaimana hidup berdampingan dengan lingkungan untuk waktu yang lebih lama pada saat mengejar keindahan.

 

Mendatangi Dadaocheng yang merupakan sebuah kawasan di Taipei di mana hal-hal lama dan baru hidup berdampingan, juga adalah sebuah pusat penting bagi desainer fesyen. Hari ini, kami tiba di lantai dua salah satu bangunan tua di sini.

“Studio Justin Chou dan Apu Jan terletak dekat sini lho!” Jean Chang, pendiri Picupipress berkata sambil menyambut kami. Jean Chang dengan berani meninggalkan karirnya di media fesyen arus utama beberapa saat lalu, dan pada tahun 2018 mendirikan platform media online pertama di Taiwan dengan tema mempromosikan fesyen berkelanjutan. Dulu, ia mempromosikan konsumsi barang-barang mewah, kini orang-orang sering melabelnya sebagai seorang pencinta lingkungan. Apa yang menyebabkan perubahan sebesar ini?
 

Konsep Jean Chang tentang kecantikan mengalami perubahan besar setelah meninggalkan pekerjaannya di media fesyen arus utama.

Konsep Jean Chang tentang kecantikan mengalami perubahan besar setelah meninggalkan pekerjaannya di media fesyen arus utama.
 

Makin Beli Makin Banyak, Lantas Bagaimana?

Jean Chang memasuki industri fesyen karena ia suka pada hal-hal yang indah. Namun selama satu dekade terakhir, peningkatan kecepatan dan keragaman produksi fesyen serta penurunan harga telah menyebabkan pakaian baru dibuang setelah hanya satu musim. Teringat dengan masa mudanya ketika setiap pakaian sangat dihargai karena tidak mudah diperoleh, perubahan industri telah mendekonstruksi nilai-nilai budaya yang diyakini Jean Chang.

Tujuan Chang memulai petualangan bisnis ini sangat sederhana. “Andaikata benar-benar mencintai industri ini, kita harus mencari cara untuk membuatnya menjadi lebih baik,” tutur Chang. “Cara ini bukan menuntut konsumsi tanpa akhir di bawah kapitalisme, melainkan menemukan keseimbangan antara fesyen dan lingkungan.”

Meskipun konsep keberlanjutan dalam industri fesyen telah bergema di seluruh dunia selama beberapa tahun terakhir, tetapi implimentasinya masih kurang. Jean Chang yang tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai, akhirnya memutuskan memulai bisnis media sendiri untuk menyebarkan ide-idenya.

Mencari Metode Baru dengan Teknologi Baru

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, disingkat SDGs) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) boleh dianggap sebagai pendahulu untuk fesyen berkelanjutan, mencakup pengentasan kelaparan dan kemiskinan, serta penerapan model produksi dan konsumsi berkelanjutan. Mengenai bagaimana mewujudkan ideologi, telah ada contoh dari sejumlah proyek.

Banyak bahan bioteknologi baru telah digunakan dalam beberapa produk yang sudah dipasarkan dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contohnya, asam polilaktat (PLA), kendati syarat dekomposisinya yang ketat sering menjadi bahan kritikan, berbahan hasil ekstrak pati tanaman singkong, jagung, gandum, sorgum, tebu dan lainnya ini memiliki keunikan tahan panas, tak beracun, mudah dibentuk dan dapat terurai, sehingga disebut “plastik hijau”.

Namun apakah dalam mempromosikan fesyen berkelanjutan, kita harus kembali pada kehidupan primitif, di mana semuanya masih dibuat dengan tangan? Jawabannya adalah tidak. Jean Chang yang familiar dengan pasar mewah menyebutkan Stella McCartney yang berasal dari Inggris.

Untuk mengimplementasikan konsep pelestarian lingkungan pendirinya, merek butik yang sekilas terlihat tak berbeda dari merek lain ini mengadopsi konsep tidak memakai kulit dan bulu binatang sebagai bahan. Stella McCartney beserta tim desainnya mengembangkan bahan alternatif seperti kulit artifisial, karet biodegradable dan kayu. Agar sepatu yang umumnya diproduksi dengan bahan majemuk dapat didaur ulang, mereka mendesain hanya dengan satu bahan tunggal, tidak memakai alas karet, dan mengadopsi desain snap-on yang dapat dilepas.

Tampaknya, fesyen berkelanjutan yang mengintegrasikan teknologi, menitikberatkan riset dan pengembangan bahan, serta menggunakan desain sebagai solusi, tidak terlihat primitif sama sekali!
 

Kaulin Foundation menggunakan limbah kain untuk menstimulasi kreativitas desainer. CEO Iris Lin (kanan) dan perancang busana Joe Chan (kiri) bersiap mengirimkan pakaian di atas manekin untuk mengikuti pameran di luar negeri.

Kaulin Foundation menggunakan limbah kain untuk menstimulasi kreativitas desainer. CEO Iris Lin (kanan) dan perancang busana Joe Chan (kiri) bersiap mengirimkan pakaian di atas manekin untuk mengikuti pameran di luar negeri.
 

Baju Baru Bekas

Pada tahun 2016, bintang film Inggris Emma Watson menghadiri acara bergengsi Met Gala di Metropolitan Museum of Art, New York City, dalam balutan gaun hitam-putih elegan yang didesain oleh Calvin Klein. Terbuat dari sutra organik, katun organik, benang PET dan plastik daur ulang, gaun itu dirancang dalam potongan-potongan terpisah yang dimaksudkan untuk dipadupadankan dengan pakaian lain dalam kehidupan sehari-hari. Di Taiwan, DJ kondang Mickey Huang juga mengenakan setelan yang dibuat dari pakaian bekas saat menjadi pembawa acara Golden Bell Awards pada tahun 2017.

Untuk memuaskan trend pembaruan mode dalam industri fesyen, serta mempertimbangkan keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, terlahirlah arus remanufaktur dalam industri fesyen.

Sebagai contoh, Jean Chang menyarankan kepada organisasi amal “Carpenter's House” untuk menggunakan pakaian denim bekas yang disumbangkan masyarakat, kemudian membongkar pakaian dengan bahan yang paling umum dan kualitas relatif stabil itu, dan menggunakan kain yang dihasilkan untuk didesain dan dijahit kembali menjadi garmen yang bisa diproduksi secara massal.

T Fashion adalah sebuah pusat fesyen eksperimental yang terletak di lantai empat Pasar Yongle di Taipei, yang merupakan pusat distribusi kain terbesar di Taiwan. Serangkaian karya desainer Justin Chou yang terkenal dengan gaya mendekonstruksi dan mendaur ulang limbah kain, bisa ditemukan di sini. Salah satu darinya adalah lukisan “Cakrawala Taipei” di dinding yang terbuat dari kain denim bekas.

Revitalisasi Limbah Kain

Sebagai negara pemroduksi kain utama dunia, Taiwan juga telah mengalami  pahit getir dari produksi massal. Ketika produksi terlalu banyak, tentu akan ada sejumlah besar stok kain, limbah kain, potongan kain, kain sampel, kain usang dan kain cacat yang menumpuk di gudang dan akhirnya dibuang. Produk-produk yang sulit tampil elegan ini kerap kali pada akhirnya dibuang.

Sesuai dengan konsep ekonomi sirkular, “bank kain” dengan menggunakan aplikasi desain menampilkan kembali kain-kain yang tidak menarik, mencari jalan keluar baru bagi limbah ini.

Bermarkas di pusat tekstil Tainan, Industrial Technology Research Institute (ITRI) bermitra dengan Foundation of Historic City Conservation and Regeneration (FHCCR) dan perusahaan lokal untuk mempromosikan platform online yang mengintegrasikan dunia virtual dan nyata. Platform ini menghubungkan konsumen dengan perusahaan-perusahaan yang sebagian besar adalah pembuat kain utama untuk merek-merek seperti Nike, Adidas, Victoria's Secret, Burberry dan lainnya. Selain terkoneksi melalui internet, sebuah toko juga telah dibuka di gedung yayasan, untuk menjual kain bekas pada masyarakat umum.

ITRI tidak sendirian dalam upaya ini. Kaulin Foundation, yang didirikan oleh pembuat mesin jahit industri terkemuka, menghasilkan limbah kain dengan jumlah besar dalam tahap pengujian produk, dan mulai mempromosikan “Proyek ReSew's”.

CEO Kaulin Foundation, Iris Lin membuka pintu sebuah gudang yang penuh berisi kardus-kardus limbah kain dari pembuat kain di berbagai pelosok Taiwan. Melalui penjalinan hubungan antara pabrikan dan desainer dalam beberapa tahun terakhir, Kaulin telah menjadi sebuah saluran daur ulang limbah kain.

Di salah satu pojok, dua potong pakaian tergantung di atas manekin baju. Perancang busana Joe Chan menciptakannya dengan menggunakan limbah kain, dan dengan bantuan Kaulin, produk karya ini tengah disiapkan untuk dikirim ke Las Vegas untuk mengikuti pameran bersama sembilan desainer Taiwan lain.

Joe Chan sejak dulu memang sangat menyukai pakaian bekas dan vintage. Banyak karya yang sudah ia hasilkan  melalui desain dan penjahitan ulang pakaian bekas, ditampilkan kembali dalam gaya jalanan dan gaya netral yang merupakan keunggulannya. “Saat belajar di Paris, saya sering pergi ke toko pakaian bekas untuk menggali harta karun. Saat itu, saya melihat banyak pakaian bagus dijual dengan harga yang sangat murah, saya pun merasa pakaian itu sedang menangis,” tutur Joe Chan.

Meskipun pakaian yang dibuat dari limbah kain hanya mengontribusikan sebagian kecil dari pasar fesyen arus utama, “Selama satu dari sepuluh karya desainer dibuat dengan konsep ini, berarti ada kesadaran akan masalah ini, dan tujuan pendidikan pun tercapai.” Atas hal ini, Iris Lin sangat optimistis.