Kembali ke konten utama
Ngarai Taroko dari Berbagai Sudut Pandang Setiap Jalur Terawat dengan Baik oleh Sukarelawan
2022-04-18

Ngarai Taroko(1)

 

Ngarai Taroko adalah endapan batu gamping di dasar laut yang dalam, yang terbentuk dari proses tektonik himpitan lempengan selama beberapa puluh juta tahun menjadi batuan metamorf, kemudian terangkat melalui proses pergerakan kerak bumi pada 6 juta tahun lalu, pembelahan dari kikisan aliran sungi Liwu, mendorong terbentuknya ngarai yang tinggi menjulang, dengan beraneka ragam perubahan lanskap.

 

Jalan setapak ngarai Taroko sangat beragam, dari ketinggian 10 meter di atas permukaan laut, hingga hampir 1.000 meter juga ada, wisatawan dapat memilih jalan dengan tantangan yang disesuaikan dengan kemampuan diri masing-masing. Tim Wawancara mendatangi jalan setapak “Shakadang” dengan ketinggian 60 meter di atas permukaan laut dan “Jalan Tua Zhuilu”, 765 meter di atas permukaan laut. Kami mengamati  ngarai dan ekologi di kawasan batu gamping dari sudut yang berbeda, juga mengikuti tim sukarelawan menelusuri jalur pendakian Taman Nasional Taroko yang paling awal terbentuk di sektor publik Taiwan, kemudian kami memasuki jalan setapak “Dali”, untuk melihat bagaimana mereka menggunakan sumber daya lokal beraneka ragam yang ada di Taroko untuk membangun tangga dan mempertahankan jalur setapak ini.

 

Shakadang: Derap Aliran Sungai Liwu

Jalan setapak Shakadang bersebelahan dengan aliran sungai Liwu, sehingga wisatawan yang berjalan di sini dapat mendengarkan suara air sungai yang mengalir bergema di ngarai Taroko, kami juga dapat memperhatikan lipatan-lipatan gamping yang terbentuk sejuta tahun lalu dan keunikan ekologi di tengah ngarai. Pemandu senior Lin Mao­yao menyampaikan, jalan setapak ini dibangun pada era pendudukan Jepang, pemerintah pada masa itu membangunnya untuk kepentingan pengembangan pembangkit listrik tenaga air, sehingga mereka menggunakan bahan peledak untuk meledakkan batu guna membuat cabang jalur jalan, “Pada jalur ini masih dapat terlihat pipa besar yang digunakan untuk mengantar air dari sungai Liwu.” Lin Mao-yao menyebutkan, pembangkit listrik tenaga air sungai Liwu merupakan pembangkit listrik tenaga air keempat terbesar di Taiwan pada era kolonial Jepang, tetapi sekarang hanya sebagai power conditioner saja.

Shakadang adalah bahasa suku Truku yang berarti “geraham”, Lin Mao-yao mengungkapkan, terdapat dua cerita dari pemberian nama Shakadang, cerita yang pertama  adalah pada saat suku adat asli Truku menggali tanah mendirikan perkampungannya di hulu sungai Shakadang, ketika mengali tanah di hulu sungai  mereka menemukan gigi geraham dari nenek moyang mereka. Cerita lainnya adalah bentuk bagian atas lubang dari suku penduduk asli Datong menyerupai gigi geraham sehingga diambilah nama tersebut. Berjalan santai di jalan setapak terkadang kita masih dapat berpapasan dengan tetua dari suku penduduk asli Truku, dan Lin Mao-yao akan menganggukkan kepala sebagai tanda hormat dan memanggil mereka dengan sebutan “Baki” untuk kakek atau “Payi” untuk nenek.

 Udara di Ngarai Taroko sangat bersih, terbukti dengan “tumbuhan”, Lin Mao-yao menunjukkan jarinya ke lumut lichen (Organisme komposit yang muncul dari alga atau cyanobacteria yang hidup di antara filament berbagai spesies jamur) di dinding batu sambil berkata, “Spesies ini hanya muncul di tempat yang berudara bersih dengan tingkat kelembaban yang tinggi.” Lumut lichen terbentuk dari simbiosis alga dan jamur, alga menyediakan nutrisi yang dibutuhkan jamur melalui fotosintesis, sedangkan jamur menjaga kadar air dan mineral untuk diserap oleh alga. Perpaduan antara alga dan jamur yang berbeda menghasilkan warna lumut lichen yang berbeda pula, Anda dapat mengamati beragam jenis lumut di jalan setapak Ngarai Taroko. Selain itu, lumut mengeluarkan zat asam, mempercepat pelapukan batuan menjadi tanah, ini bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman, oleh karena itu beragam tumbuhan hidup dapat ditemukan pada dinding bebatuan.

Kehidupan suku adat asli Truku berhubungan erat dan tidak dapat terpisahkan dengan tumbuhan. Dari tumbuh-tumbuhan di jalan setapak Shakadang dapat sekilas terlihat budaya suku penduduk adat. Lin Mao-yao menunjukkan tanaman rami (nama latin: Boehmeria nivea) dengan daun hijau yang berigi sambil berkata, “Ini adalah bahan untuk membuat pakaian suku adat asli.” Dengan pengetahuan suku adat asli Truku tentang alam, mereka menggodok rami, kemudian dijemur hingga kering, lalu diambil seratnya untuk ditenun menjadi pakaian. Sedangkan “5 rumah” yang berada di tengah jalan setapak merupakan tanah bercocok tanam dari suku adat asli Truku, dinamakan 5 rumah karena dulu di tempat ini terdapat 5 rumah. Suku adat asli Truku sendiri juga menamai tempat ini dengan bahasa Truku “Swiji” yang berarti “Pohon beringin” yang mencerminkan pohon beringin sebagai pohon yang dominan di kawasan Shakadang, di mana pemandangan akar-akar pohon beringin yang menembus bebatuan dapat terlihat di mana-mana di kawasan ini.

 

Jalan Tua Zhuilu: Tantangan Antara Tebing dan Ngarai

Jalan Tua Zhuilu yang berdekatan dengan tebing merupakan jalan setapak yang paling berbahaya di Ngarai Taroko, tetapi karena itu pula jalur tersebut memiliki pemandangan alam yang menawan. Selain dapat melihat gumpalan awan yang mengapung di puncak Tashan di seberang jalan, Anda juga dapat melihat jalan raya dan sungai Liwu yang berada 700 meter di bawah. Spesies tumbuhan yang dapat terlihat semakin beragam dan unik saat menelusuri jalan ini, Lin Mao-yao menjelaskan, “Kebanyakan dari spesies di sini merupakan spesies yang bermigrasi ke selatan hingga tiba di Taiwan pada zaman es, tetapi setelah zaman es berakhir, terbentuklah selat Taiwan sehingga hanya ada 2 nasib untuk spesies yang ada, yaitu musnah atau beradaptasi menjadi spesies unik Taiwan. Terutama di Taman Nasional Taroko, di mana bentuk ngarai menghalangi makhluk hidup yang ada untuk bermigrasi, oleh karena itu banyak tumbuhan yang berevolusi menjadi “Spesies khusus Taroko” di kawasan kecil ini.” 

“Dari penelitian yang dilakukan hingga sekarang telah ditemukan 70 spesies tumbuhan yang dinamai berdasarkan nama tempat dan pegunungan yang ada di dalam Tamah Nasional Taroko, seperti Taroko Oak (Quercus tarokoensis), Rosa pricei (Sebutan dalam bahasa Mandarin Bunga Rosa Taroko), Rhododendron hyperythrum (Nanhu rhododendron), Ponerorchis kiraishiniensis (Anggrek Merah Qilai) dan lainnya, bahkan sekitar 56 spesies darinya merupakan spesies khas Taiwan.” Lin Mao-yao mengemukakan, meskipun secara geologis Taiwan termasuk muda, namun tersimpan banyak spesies makhluk hidup kuno, untuk itu ada perkataan “Taiwan, meskipun baru tetapi tua, meskipun kecil tetapi besar”.

Pada tanah bebatuan yang kering kerontang di Jalan Tua Zhuilu berdirilah peninggalan kantor polisi Batagan (Badagang Police Station Relics), dari sini Anda dapat mengamati dedaunan pohon Taroko oak dengan tepi yang bergerigi halus. Beranjak lagi ke atas, Lin Mao-yao menunjukkan Carpinus hebestroma (Taroko hornbeam) dan Berberis tarokoensis (Taroko barberry) yang merupakan spesies langka, “Dr. Cecilia Koo dari Pusat Konservasi Botani yang melestarikan tanaman tropis dan subtropis di seluruh dunia juga sangat memerhatikan Carpinus hebestroma.” Meskipun Jalan Tua Zhuili berlokasi di kawasan subtropis dengan ketinggian tidak sampai 1.000 meter dari atas permukaan laut, tetapi mendapat pengaruh dari angin muson timur laut sehingga suhu udaranya rendah, dan Juniperus formosana yaitu salah satu spesies tumbuhan di kawasan dingin juga dapat tumbuh di sini.

Jalan Tua Zhuili yang memiliki kekayaan ekologis, sebenarnya adalah sebuah jalan yang dipersiapkan bagi polisi di masa kolonial Jepang, digunakan untuk polisi berpatroli ke tempat-tempat pemukiman suku adat asli Truku dan mengangkut barang-barang kebutuhan sehari-hari dari para polisi di pegunungan. Kapten Polisi Masa Umezawa yang adalah pakar “Membuka jalan gunung” memimpin tim pembangunan jalan secara khusus mendatangkan pekerja dari Jepang ke Taroko, tetapi para pekerja tersebut langsung mundur begitu melihat tebing curam Zhuili, membuat Masa Umezawa terpaksa hanya dapat mencari tenaga muda dari penduduk setempat untuk peledakan dan pengeboran dinding batu.

Setelah menghabiskan waktu selama 7 bulan, akhirnya jalan lintas tebing terjal Zhuili rampung,  proses pembangunan jalan memakan 37 korban jiwa. Dari data sejarah mereka juga menemukan bahwa setelah pembukaan jalan ini, para ilmuwan Jepang mulai melakukan survei ekologi pada bagian tengah hulu sungai Liwu, sebagai contohnya Dr. Masamitsu Oshima (1884 – 1965) merupakan orang pertama yang menemukan ikan salmon Taiwan (Oncorhynchus masou formosanus), dikawal oleh polisi di sepanjang jalan hingga ke pos kepolisian Tabido (sekarang adalah Tianxiang). Ia juga mengumumkan akan membeli burung Syrmaticus mikado yang masih hidup dari suku adat asli Truku dengan harga tinggi, dan kemudian 15 pasang burung Syrmaticus mikado berhasil dibawa pulang ke Jepang. 
 

Ngarai Taroko(2)

 

Pendaki Gunung Menjadi Sukarelawan

Baik Jalan Setapak Shakadang yang merupakan jalan datar yang mudah dilalui atau Jalan Tua Zhuili yang berisiko di tebing tinggi, dapat terlihat jejak pemeliharaan jalan dari tim sukarelawan. Namun karena metode yang digunakan adalah secara manual atau dengan tangan, yang menekankan pada “Berintegrasi dengan alam” sehingga para pelancong hampir tidak dapat merasakan hasil karya mereka.

Sekelompok pahlawan di balik layar ini telah menyingsingkan lengan bajunya dan bekerja untuk jalan setapak selama 12 tahun, ada sebagian yang merangkap sebagai sukarelawan konservasi dan sukarelawan pemandu, kerap dijuluki dengan sebutan “Ampibi” (LiangQi) oleh mitranya. Lin Guo-wen yang mendapat julukan “Kakak ke dua” (ErlGe) merupakan salah satu dari anggota tim yang memiliki pengalaman paling banyak, ia pandai menengahi hubungan sesama anggota tim yang membantu dalam kelancaran pelaksanaan restorasi jalan setapak.  Sang “Tiga habitat” (SanQi), Jiang Zeng Wei-zhe berharap dapat memadukan kisah restorasi jalan ini dalam penjelasannya agar pengunjung dapat memahami prinsip-prinsip ekologi di balik restorasi jalan setapak. Fang Rui-kai adalah sukarelawan konservasi di Taman Nasional Yang Ming Shan, karena keindahan pemandangan Taroko membuatnya tidak dapat meninggalkan tempat ini, sedangkan Zhang Chao-neng yang senang dengan jalan setapak yang penuh tantangan, kerap merasakan senang dan bangga atas pujian yang didapatkan dari pelancong.

“Sempat ada pemimpin tim penolong yang membawa balik rombongan keluar dari lokasi, saat memasuki jalan sebelah timur puncak Nanhu pada dini hari, sehingga langit masih gelap, ketika akan turun dari gunung, mereka mengira salah jalan karena melihat jalanan menjadi sangat lebar, kemudian mereka menyadari bahwa saat itu para sukarelawan pemelihara jalan baru menyelesaikan pekerjaannya.”

Saat menanyakan bagaimana keempat orang ini pertama kali bergabung dalam tim sukarelawan, jawabannya semua karena ingin mengembalikan kondisi lingkungan ke kondisi awal. “Kami semua senang memanjat gunung, kami adalah pengguna jalan setapak.” Jiang Zeng Wei-zhen pernah tersandung batu besar hingga kakinya terkilir dalam perjalanan menuju danau Chiaming, karena itu setelah bergabung dalam tim sukarelawan, ia bersama mitranya membersihkan batu-batu besar di jalan dan kembali ke danau Chiaming. Sementara Chang Chao-neng yang sering mendengar saran dari pendaki gunung yang jatuh terpeleset hingga cedera di gunung Pingfeng, membuat ia bergabung dalam proyek survei jalur baru Taman Nasional Taroko.

Lin Guo-wen menyampaikan, meskipun pekerjaan pemerliharaan jalan setapak dengan tangan membutuhkan waktu yang lebih panjang, tetapi ramah lingkungan, nyaman dan membantu memelihara ekologi. “Semangat pemeliharaan jalan setapak dengan pekerjaan tangan adalah dengan material lokal, tidak menganggu ekologi. Selain itu kami juga mengerjakannya dari sudut pandang pendaki, sehingga dapat dilalui dengan lebih nyaman.”

 

Pemeliharaan dengan Material Lokal

Tim sukarelawan pemelihara jalan mementingkan kerja sama anggota tim, setiap anggota berinisiatif mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Lin Guo-wen dan Fang Rui-kai bekerja sama, setelah mengamati jalan sebentar, merekapun mencari batu besar. “Jarak penempatan material setidaknya 20 meter dari jalan setapak agar tidak mengganggu lereng jalan setapak.” Lin Guo-wen menjelaskan, “Saat mengerjakan jalan setapak kami harus mengikuti aliran air dan membuat saluran pembuangan air, jika tidak erosi lereng yang membawa lumpur dalam jangka panjang akan sangat merugikan bagi pendaki gunung.” Bersamaan dengan waktu itu, Fang Rui-kai telah memindahkan batu besar, setelah memikirkan bagaimana menempatkannya, mengatur posisi, menanamkan dengan kuat dalam tanah, dan terakhir mereka berdua bergiliran memukul batu agar serpihan batu dapat mengisi celah-celah yang ada. “Jalur ini tidak saja nyaman untuk dilalui, tetapi juga dapat menghalangi timbunan lumpur.” Demikian jelas Lin Guo-wen.

Pada saat kunjungan ini, proyek pemeliharaan jalan setapak dengan tangan telah mencapai posisi 0,7 km, tim sukarelawan merekomendasikan selain jalan setapak Dekalun, masyarakat juga dapat menggunakan jalan setapak Dali yang pintu masuknya cukup misterius untuk mendatangi pemukiman suku adat asli Dali Datong, mendapatkan pengalaman berjalan nyaman di jalan setapak yang pengerjaannya dengan tangan, mempelajari semangat pemeliharaan ekologi dari metode konstruksi pembangunan, serta mengenal kekayaan ragam dan keunikan lanskap ekologi Taroko dari setiap bongkahan batu yang ada.

 

MORE

Ngarai Taroko dari Berbagai Sudut Pandang Setiap Jalur Terawat dengan Baik oleh Sukarelawan