Kembali ke konten utama
Mingalar Par! Huaxin Street Membawa Anda dalam Sekejab Tiba di Myanmar
2022-05-23

Mingalar Par! Huaxin Street

 

Restoran vegetarian ini tidak mengandalkan imbauan kesehatan atau slogan berkelanjutan untuk menggerakkan hati orang-orang, melainkan mencoba merangsang selera dengan penuh kejutan, membuat lima organ tubuh utama manusia melantunkan pujian, “Benar-benar enak!”.

“Apa kabar!” (Mingalar par) saya menyapa dengan mengunakan Bahasa Myanmar, berbaur dengan arus pemandangan di sini.

 

Saat ini di Taiwan terdapat lebih dari 140 ribu  perantauan Tionghoa asal Myanmar, untuk Distrik Zhonghe dan Yonghe saja telah tercatat sebanyak 40 ribu orang, mayoritas berkumpul di jalan Huaxin (Huaxin Street).

Sebegitu turun dari stasiun terakhir untuk jalur Zhonghe-Xinlu MRT Nanshijiao, menyusuri jalan Xingnan, maka Anda akan tiba di Huaxin Street. Di jalan yang hanya memiliki panjang tidak sampai 500 meter, terlihat pilar tinggi menjulang bertuliskan “Jalan kuliner wisata laut selatan (Nanyang)”, tetapi banyak yang mengenalnya dengan sebutan “Gang Myanmar”. Ada lebih dari 40 an toko yang menjual jajanan khas Myanmar, serta masakan Yunnan, bahkan jajanan India, masakan Thailand, dan minuman teh ala Hong Kong. Fenomena perpaduan multikultural ini, diam-diam menarik rasa penasaran masyarakat umum.

 

Paris Ada Kedai Kopi, Myanmar Ada Kedai Teh Susu

Kota Paris terkenal dengan kedai kopi “Left Bank of the Seine”, dan Tiongkok memiliki kedai teh, demikian juga dengan Myanmar yang terkenal dengan kedai teh susu. “Segelas teh susu ini, dapat terlihat seperti bagian dari kehidupan masyarakat Myanmar”, ujar Lily Yang, keturunan ke dua yang berasal dari keluarga Tionghoa Perantauan asal Myanmar yang dibesarkan di Huaxin Street. Jika sempat jalan-jalan ke sini, jangan lupa untuk memulai petualangan dengan segelas teh susu.

Bagi Tionghoa Perantauan asal Myanmar, tiada hari tanpa segelas teh susu, di mana menjadi bagian bahan pokok kehidupan. Kedai teh susu adalah sebuah ajang pertukaran sosial, tempat hiburan yang sangat penting. Ada seorang Tionghoa Perantauan asal Myanmar yang sempat mengatakan, “Saat orang Taiwan membahas urusan bisnis, selalu dilakukan di dalam kantor, namun bagi warga Myanmar, akan dilakukan di kedai teh susu.” Di sini adalah tempat bagi mereka untuk membangun kepercayaan, bertukar informasi dan membahas beragam isu.

Dimulai dari segelas teh susu, Anda juga dapat belajar tentang sejarah Myanmar yang cukup rumit. Jika diamati, Anda dapat menemukan bahwa teh susu Myanmar juga kerap disebut sebagai teh susu India. Ini karena warisan budaya yang ditinggalkan oleh penjajahan Inggris di Myanmar pada masa lalu. Selain itu, dulu Inggris juga mengklasifikasikan Myanmar dan India dalam cakupan "British India". Akibatnya, jumlah imigran India di Myanmar juga meningkat pesat. Teh susu Myanmar sangat populer di kalangan orang India, dan mereka juga memulai bisnis teh susu. Oleh karena itu, teh susu Myanmar sering disebut teh susu India.

Etos minum teh susu adalah hasil dari globalisasi, tetapi teh susu Myanmar juga telah mengalami evolusi lokal. Karena orang Myanmar tidak menyukai rasa rempah berlebihan yang terdapat pada teh susu India, maka mereka membuangnya, dan sehubungan dengan tidak mudah untuk mendapatkan susu segar di Asia Tenggara, jadi mereka menggantinya dengan susu kental dan krim. Secangkir teh susu Myanmar terdiri dari tiga elemen, yakni teh hitam Myanmar, krim (air susu), dan susu kental. Secangkir kecil ini memadukan ragam liku sejarah Myanmar dan ragam latar belakang dengan multi-etnisnya.

 

Kode Rahasia di Balik Sajian Makanan

Mari meneguk secangkir teh susu Myanmar! Karena mayoritas yang tinggal di Huaxin Street adalah Tionghoa perantauan asal Myanmar, yang adalah golongan pekerja kerah biru dengan jam kerja bergilir, bukan kelompok pekerja dengan jam kerja 9 pagi hingga 5 sore, sehingga toko-toko yang ada di sini setiap saat ada pengunjung. Saat kita berjalan masuk ke sebuah kedai bernama “Liyuan Halal Food”, walaupun disebut kedai makanan, namun sejak pukul 10 pagi, kedai telah dipenuhi dengan hiruk pikuk tamu, banyak yang tengah menikmati sehelai chapati India, dengan secangkir teh susu Myanmar, inilah awal pembuka hari mereka.

Dalam kehangatan nuansa yang ada, tetua Tionghoa perantauan asal Myanmar yang tengah berbincang ini memberitahu jika tahun 1962 menjadi titik memori penting dalam kehidupan mereka. Saat itu, pemerintahan militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win di Myanmar mulai menerapkan serangkaian kebijakan "Nasionalisasi" yang tidak bersahabat dengan orang asing, pemerintah juga mengambil alih semua hal, sementara koran dan sekolah keturunan Tionghoa ditutup satu per satu.

Karena tidak menghendaki perlakuan tidak bersahabat  tersebut, dan demi mencari jalan keluar bagi generasi selanjutnya, banyak warga Myanmar yang mulai merantau ke luar negeri, membentuk gelombang besar migrasi, termasuk ke Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Amerika dan Taiwan dengan jumlah terbanyak.

Kehidupan imigran tidaklah mudah. Mereka yang datang ke Taiwan, selain meninggalkan kampung halaman, juga harus melakukan adaptasi kehidupan yang tidak mudah, termasuk pola makan. Secara alami, layaknya mayoritas keturunan Tionghoa yang mulai membuka rumah makan, membentuk pemandangan pecinan. 40 tahun yang lalu, dua toko mulai menjual makanan ringan Myanmar di dekat Huaxin Street. Banyak yang berbaris untuk menghilangkan kerinduan mereka, dan mempelopori berdirinya “Gang Myanmar” ini.

Jika diperhatikan dengan seksama, papan reklame dan nama toko di jalan,  kerap menggabungkan nama tempat di Myanmar dan masakan yang berbeda, termasuk masakan Yunnan Dai, Yum Cha ala Hong Kong, India serta Thailand. Setiap nama toko adalah satu kelompok nomor kode kehidupan, selain membiaskan etnis leluhur dan kampung halaman sang pemilik, toko-toko ini juga  menggemakan situasi multi integrasi di Myanmar. Termasuk kawasan yang berbatasan langsung dengan dengan Tiongkok, Thailand, Laos, dan negara lainnya yang turut mendorong pertukaran budaya, masih ada  ratusan suku di Myanmar, serta imigran Tionghoa dari Yunnan, Fujian dan Guangdong, dan imigran India yang berkepercayaan Islam.
 

Huaxin Street juga dikenal dengan sebutan “Little Myanmar”, setiap bulan April di tempat ini digelar Festival Songkran, setiap keluarga akan bermain air dan melaksanakan upacara memandikan patung Budha (Foto: Chin Hung-hao)

Huaxin Street juga dikenal dengan sebutan “Little Myanmar”, setiap bulan April di tempat ini digelar Festival Songkran, setiap keluarga akan bermain air dan melaksanakan upacara memandikan patung Budha (Foto: Chin Hung-hao)
 

Orang Yang Kembali dari Myanmar

Di Huaxin Street ada satu kalimat yang disebut “Myanmapyan”, dalam bahasa Myanmar memiliki makna orang yang baru kembali dari Myanmar. Sebelum datang ke Taiwan, banyak diaspora Myanmar yang belum pernah tinggal di Taiwan, karena adanya rasa pengakuan akan suku, maka para imigran yang bermigrasi ke Taiwan, semuanya dianggap sebagai “Kembali pulang ke negara asal”, dan disebut sebagai “Orang keturunan Tionghoa asal Myanmar”

Setiap diaspora Myanmar, menyembunyikan ragam kisah yang luar biasa saat melanglang buana. Orang yang tengah duduk di kedai “Liyuan Halal Food”, telah tinggal di Taiwan selama lebih dari 30 tahun, Jian Ming-you, Mantan Wakil Kepala Myanmar Overseas Chinese Association mulai menceritakan kisahnya.

Jian Ming-you yang besar di Myitkyina - Myanmar, berasal dari keluarga pedagang di perbatasan antara  Tiongkok dan Myanmar. Ia sendiri juga memiliki rumah di Myitkyina, hingga akhirnya sang ayah pindah dari Yunnan ke Myanmar.

Setelah lulus SMA, ia diterima di Departemen Ilmu Politik Perbatasan (Sekarang Departemen Etnologi) di National Cheng Chi University Taiwan melalui pendaftaran di luar negeri. Namun saat itu, pemerintah militer Myanmar menerapkan kebijakan menutup negara tersebut. ”Saat Anda datang ke Taiwan, berarti Anda tidak bisa kembali pulang. Ini bagaikan sebuah perpisahan kehidupan dan kematian.” Jian Ming-you mengingat bahwa ia adalah putra sulung, di mana sang ibu tidak rela untuk membiarkannya merantau, kemudian  menyembunyikan paspor yang ditaruh di dalam rumah.

Latar belakang kehidupan yang unik, membuat kemampuan berbahasa Myanmar yang dimiliki Jian Ming-you, tidak sefasih Mandarin, tetapi karena tidak niat untuk melanjutkannya, dan tidak dapat ke Taiwan, ia melanjutkan pendidikan dengan mengambil jurusan bahasa Myanmar di University of Yangon. Ditambah dengan latar belakang tinggal dalam sebuah desa yang ragam akan pembauran suku minoritas, ia memiliki kemampuan multibahasa, kepekaan terhadap kelompok etnis dan budaya yang berbeda, selalu menjadi senjatanya.

Hingga pada tahun 1981, ia bar bermigrasi ke Taiwan, dan berhasil lolos dalam ujian menjadi pegawai negeri. Selama 20 tahun terakhir, ia bertanggung jawab untuk menerima tamu asing di Sun Yat-Sen Memorial Hall. Dengan latar belakang yang unik tersebut, ia dapat melaksanakan tugas yang diemban dengan cepat. “Saya sempat menerima kunjungan Clinton, Margaret Thatcher, Gorbachev”, ungkapnya saat mengenang masa-masa gemilang di masa lalu.

 

Kenali Etnis Tionghoa Myanmar di Little Myanmar

Dengan petunjuk yang diberikan oleh Aung Win, Kepala Huaxin Street Business District Development Association, kami memasuki kedai “Little Myanmar Tea and Snacks” yang berada di antara Xingnan Road dan Huaxin Street. Kedai ini kerap terabaikan karena tidak berada di Huaxin Street, dan khusus menjual ragam jajanan khas pemanis Asia Tenggara, seperti kue pisang, kue kelapa dan puding telur.

Selain hidangan penutup, tentu yang tidak akan terlupakan adalah secangkir teh susu. Melalui berbagai petunjuk yang diberikan, barulah diketahui jika secangkir teh susu Myanmar ini sama halnya dengan minuman cepat saji khas Taiwan, air teh, krim susu, air gula, semuanya dapat disesuaikan dengan kehendak tamu. Setiap cangkirnya langsung dibuat oleh si pemilik kedai khusus bagi setiap tamu.

Selain itu, yang patut diperhatikan adalah Myanmar juga merupakan negara yang sangat religius, sejak 40 tahunan silam, dibangun sebuah kuil Budha, dan kini terdapat 5 kuil di sepanjang Huaxin Street, semakin melengkapi pemberian nama “Little Mynamar”.

Selain mencari makanan di Gang Myanmar, Aung Win juga menjelaskan para Tionghoa perantauan Myanmar tetap mempertahankan tradisi kuno Myanmar, yakni menggelar Festival Songkran setiap bulan April, serta pelepasan lentera pada bulan Oktober dan November, yang kini sudah menjadi  ciri khas Huaxin Street.

Saat memasuki sudut kecil yang telah membina dan mengayom beragam keindahan manusia, hal dan benda, kita dapat mengenal kegigihan dan keramahan komunitas Tionghoa perantauan asal Myanmar, dan hal tersebut  juga membuat orang-orang  sekali lagi merasa kagum akan kekayaan dan kemampuan masyarakat Taiwan untuk menerima keragaman budaya.

 

MORE

Mingalar Par! Huaxin Street Membawa Anda dalam Sekejab Tiba di Myanmar